Pagi itu pesawat Garuda yang saya tumpangi take off dengan mulusnya meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta terbang menuju Bandara MIA di Padang. Penumpang kelihatannya penuh. Saya duduk di pinggir gang sebelah kanan. Diisamping kananku duduk seorang Bapak kira-kira sepantaran saya. Sebetulnya saya malas lho terbang pada hari itu. Badan saya ini pegal-pegal karena baru sampai dirumah kira-kira jam 11 malam habis mengitari kota Jakarta. Tapi apa boleh buat karena sudah janji dengan seseorang, rasa capek ini hilang.
Pertemuan dengan klien saya tersebut tidak lebih dari 2 jam. Setelah semuanya beres,penawaran saya disetujui, uang muka diserahkan kepada saya lalu saya berangkat ke kota Sarilamak tempat dimana saya berasal. Tiga jam dari Padang menuju Sarilamak merupakan waktu yang tidak terlalu lama. Karena di Padang Panjang kami berhenti dahulu untuk mengisi kampung tengah ini. Kira-kira jam 2,30 sore saya sudah sampai di Kampung Koto Sembilan Sarilamak.
Ada rasa bangga dihati ini melihat Sarilamak yang sudah diresmikan menjadi ibukota Kabupaten 50 Kota. Kantor Bupati berdiri dengan megahnya diatas tanah orangtua saya yang sudah dijual untuk pembangunan gedung Kantor Bupati Kabupaten 50 Kota.
Kalau kita memutar balik jarum jam kembali kebeberapa puluh tahun yang lalu, Sarilamak yang sekarang sudah sangat jauh bedanya dengan Sarilamak sekarang. Dahulu kita tidak berani keluar rumah.. Takut ditangkap oleh siraja hutan. Sehingga uang tidak laku pada malam hari. Kita hanya bisa mendengar bunyi jangkrik,katak bernyanyi. Kalau mau kepasar, kita harus naik bendi. Yang lebih terkenal waktu itu bendi Rajo Amia.
Sekarang? Wah........wah........wah.
Sore menjelang magrib, buruh bangunan kantor Bupati pulang ketempat pemondokannya. Kebetulan rumah etek saya dikampung Koto Sembilan disewa oleh para buruh tersebut. Ada kira-kira 10 orang.
Saya cobalah ngomong dengan dialek Sarilamak dengan mereka.
“Ora iso pak kami ngomong Sarilamak “
“Kami wong Jowo”
Ha? Orang Jawa? Pemuda sarilamak mana? Yang katanya kuat-kuat dan rajin bekerja.
Pertanyaan ini terus menggelayut dibenak saya. Pemuda Sarilamak kan masih banyak tinggal di kampung ini, Setahu saya mereka kebanyakan masih belum bekerja
Akhirnya pertanyaan saya terjawab sudah. Keesokan harinya waktu saya melewati simpang tigo menuju Koto Kociak arah ke Harau, di pajak (warung minuman) saya melihat sebagian anak muda lagi sedang minum kopi , disudut kanan pajak tampak beberapa orang anak muda sedang asyik maota tentang artis. Padahal pagi itu sudah diatas jam 8.
Sedih rasanya hati ini. Kalau begini terus kapan kampung kita ini akan maju. Saya beranggapan mereka itu tidak salah. Kita-kita inilah yang kurang memperhatikan mereka, yang kurang memotivasi mereka. Buktinya mereka di Jawa bekerja dengan rajin. Meskipun pekerjaan mereka juga buruh.
Apakah mereka malu bekerja sebagai buruh dikampung sendiri?
Saya khawatir sekali. Mungkinkah dikampung kita Sarilamak ini suatu saat nanti anak mudanya sudah tidak ada. Karena pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Sementara orangtuanya sudah pindah rumah agak kedalam kampung karena rumah dan tanahnya sudah dijual kepada para pendatang.
Saya mendambakan adanya salah seorang dari kita putra Sarilamak yang punya wawasan dan peduli dengan kampung halaman kembali kekampung untuk membangun nagari tercinta. Tidak hanya kota Sarilamak tetapi juga Kabupaten Lima puluh Kota.
Alangkah bangganya kita bila salah seorang putra Sarilamak dipercaya oleh rakyat se Kabupaten 50 Kota untuk didahulukan selangkah ditinggikan seranting guna membangun tidak hanya kota Sarilamak tetapi juga Kabupaten Lima Puluh Kota. Sehingga orang tidak akan melihat sebelah mata lagi dengan kita karena selama ini di Sarilamak ada pameo “Kalau indak pandai mancemeeh, itu bukan orang Sarilamak”
ditulis oleh:
H.HARYONO
Jl.Raya Bogor km.37
Vila Pertiwi Blok J2 no.13 RT.02 RW.15
Sukamaju-DEPOK (16415)
Email : delfano@indosat.net.id